Rabu, Oktober 24, 2012

Mereka Tanggung Jawab Siapa ?

(Tugas Berita Mendalam Jurnalistik Media Cetak_Mei 2012_Dosen: Mba Wiwik Novianti)

Selasa, (24/04) Anak-anak Kampung 
Sri Rahayu sedang bermain di saat mereka 
tidak mengemis dan sekolah.

Dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2007 menerangkan bahwa gelandangan adalah orang yang tidak mempunyai tempat tinggal layak, pekerjaan tetap, dan hidup berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain yang tidak sepantasnya menurut aturan dan norma kehidupan masyarakat sedangkan pengemis adalah orang yang mencari penghasilan dengan meminta-minta di tempat umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mendapatkan belas kasihan orang lain. Pengemis ini biasanya terdiri dari anak kecil atau orang yang sudah lanjut usia. Mereka mengemis dari pagi hingga menjelang petang di perempatan jalan-jalan utama kota Purwokerto. Hal itu mereka lakukan demi mendapatkan uang untuk membeli sesuap nasi. Dengan cara menengadahkan telapak tangan kepada setiap orang yang melintasi perempata jalan, mereka memperoleh beberapa pecahan uang receh.
Menurut data dari dinas sosial kabupaten Banyumas, sejak tahun 2008 hingga kini tercatat 124 pengemis pria dan 135 pengemis wanita. Penanganan gepeng sendiri pada tahun 2011 tercatat 159 orang dari seluruh pengemis dan gelandangan yang berada di wilayah Banyumas.
Kampung Sri Rahayu merupakan salah satu kampung di kota Purwokerto yang warganya sebagian besar berprofesi sebagai buruh harian lepas, seperti penuturan Bapak Yono selaku ketua RT 04 kampung tersebut, “Ada yang supir, tukang becak, pekerja bangunan, pengamen, pengemis”. Dikatakan pula, bahwa rata-rata dari mereka, ketika tidak mendapatkan pekerjaan, mereka akan mengemis untuk memenuhi biaya hidup sehari-hari.
Di kampung yang terlihat cukup kumuh dan padat tersebut terdapat 135 KK yang tercatat dan 250 warga termasuk pendatang yang tinggal dan menetap. Kebanyakan dari mereka adalah pendatang yang kemudian menetap. Tak banyak dari mereka yang menempuh pendidikan setinggi SMA, rata-rata pendidikan warga kampung tersebut adalah SD dan SMP, bahkan ada yang tidak berpendidikan.  
“Masalah pendidikan kurang, bantuan dari pemerintah paling PAUD, raskin, PNPM itu paling yang punya KTP sini.”, tutur Pak Yono. Ia juga menambahkan bahwa warga kampung tersebut lebih memilih bekerja untuk mencari uang dari pada sekolah, karena sekolah pun membutuhkan uang.
Pendapatan warga kampung tersebut tak banyak, hanya dapat mencukupi kebutuhan pangan mereka, itu pun mereka sudah mensyukurinya, karena bagi mereka yang penting adalah dapat makan setiap harinya. Hal ini dituturkan oleh salah seorang warga kampung Sri Rahayu yang sedang beristirahat di kontrakan bersama keponakan dan adiknya. Ia mengatakan bahwa dalam sehari, uang yang ia dapat dari meminta di perempatan jalan paling hanya Rp 10.000. Uang tersebut harus dapat mencukupi kebutuhannya dengan keluarganya dalam sehari.
Ditekankan oleh Ketua RT 04, “Ekonomi dibawah UMR, pendapatan sehari paling Rp 20.000 sampai Rp 30.000, gitu kalau pengamen, pengemis.”
Banyak dari anak-anak di kampung tersebut yang sekolah dan mengemis, ketika pagi mereka berangkat ke sekolah di dekat kampung, siangnya mereka bersama teman-teman atau orang tuanya pergi ke perempatan jalan untuk mencari uang dengan menengadahkan telapak tangan, meminta belas kasihan masyarakat. Tak ada rasa malu bagi mereka untuk meminta kepada orang lain, yang terpenting bagi anak-anak tersebut adalah dapat makan setiap harinya.
Orang tua mereka tidak melarang mereka untuk mengemis, justru ada yang menyuruh anaknya untuk mengemis. Kontrol orang tua terhadap anak semakin berkurang. Menurut Pak Hendri, dosen Sosiologi Fisip Unsoed, “Ada beberapa persoalan, persoalan yang berasal dari lingkungan hidup dan dari diri anak-anak itu sendiri. Kalau anak-anak dibawah 10 tahun itu sebenarnya tanggung jawab orang tua.”
Anak-anak yang seharusnya menjadi tanggung jawab orang tua untuk mengasuh dan mendidiknya, justru pergi bekerja mencari uang untuk hidup. Hal ini tak sepenuhnya kesalahan orang tua, dijelaskan oleh Pak Hendri, bahwa terdapat banyak faktor yang mempengaruhi tindakan seorang anak untuk berperilaku, seperti di contohkan oleh Dosen Sosiologi yang berpenampilan santai tersebut, bahwa ada seorang anak yang dididik oleh orang tua yang alim, lulusan pondok dan kebutuhannya pun dapat terpenuhi, namun anak tersebut justru tidak mau melanjutkan sekolah serta senang mencuri. Faktor yang mempengaruhi anak tersebut mencuri sulit untuk dipahami, masalah ini lebih kepada psikologi dari anak tersebut. Sama seperti anak-anak yang sekolah dan mengemis, bisa saja mereka disuruh orang tua atau keinginan mereka sendiri untuk melakukan hal tersebut.
Tempat para pengemis mencari uang adalah keramaian, ketika ada keramaian disuatu tempat, para pengemis berbondong-bondong mendatangi tempat tersebut. Diterangkan oleh Pak Hendri bahwa mereka cukup peka untuk mengetahui psikologis masyarakat, ketika masyarakat sedang bahagia merayakan suatu hal, mereka akan ingat bahwa mereka lebih beruntung dibandingkan dengan para pengemis. Ketika seusai sholat jumat, masyarakat berlomba-lomba melakukan kebaikan, pengemis pun akan mendatangi masjid-masjid besar. Mereka peka terhadap situasi dan kondisi di masyarakat.
Pemerintah melalui Dinas Sosial sudah mengupayakan penanganan terhadap pengemis dan gelandangan. Menurut penuturan Bapak Suwartono selaku Kepala Seksi Rehabilitasi Sosial, “Penanganan anak terlantar, gelandangan dan pengemis kita berikan suatu pelatihan bimbingan atau keterampilan, kalau mereka mau kita berikan motivasi supaya tidak terlantar kita masukan ke balai rehabilitasi, tapi itu semua tergantung orangnya.”
“Konteksnya adalah kita pembinaan, motivasi, bimbingan agar mereka menjadi  orang yang sesuai dengan norma etika kehidupan manusia”, tambah Kasi Rehabilitasi Sosial tersebut. Pembinaan dilakukan selama satu tahun. Para pengemis dan gelandangan diberikan keterampilan menjahit, otomotif dan lain sebagainya, kemudian dilepaskan kembali.
Meskipun disediakan balai rehabilitasi dan adanya dinas sosial yang menangani masalah pengemis dan gelandangan, dari tahun ke tahun jumlah pengemis dan gelandangan tak kunjung berkurang justru makin menjamur. “Ini bukanlah masalah pemerintah saja, kembali pada Undang-Undang Dasar bahwa fakir miskin dan orang terlantar dipelihara oleh negara bukan dipelihara oleh pemerintah”, kata Pak Suwartono.
Pak Suwartono juga menambahkan bahwa solusi yang tepat untuk menangani masalah pengemis adalah ketika kita mennjumpai pengemis di jalan, jangan dibiasakan memberikan uang, karena itu akan membuat mereka ketagihan, lebih baik tidak memberikan uang kepada mereka tetapi menyuruh mereka datang ke dinas sosial untuk ditangani dan diberikan motivasi melalui balai rehabilitasi.
Kerjasama pemerintah dan masyarakat sangat diperlukan untuk mengatasi masalah kesejahteraan sosial masyarakat khususnya gelandangan dan pengemis. Namun, tetap saja karakter individu sangat mempengaruhi perubahan masyarakat, seperti yang dikatakan Kasi Rehabilitasi Sosial Kabupaten Banyumas, “Merubah pola sikap dan perilaku seseorang terkait dengan etika sosial tidak semudah membalikan telapak tangan”.

Followers List

Kategori

Lirik (3) Notes (2) Puisi Absurd (12) Story (8) Tugas Kuliah (7) Video (2)