Selasa, (24/04) Anak-anak Kampung
Sri Rahayu sedang bermain di saat mereka
tidak mengemis dan sekolah.
|
Dalam Peraturan
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2007 menerangkan
bahwa gelandangan adalah orang yang tidak mempunyai tempat tinggal layak,
pekerjaan tetap, dan hidup berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain
yang tidak sepantasnya menurut aturan dan norma kehidupan masyarakat sedangkan
pengemis adalah orang yang mencari penghasilan dengan meminta-minta di tempat
umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mendapatkan belas kasihan orang
lain. Pengemis ini biasanya terdiri dari anak kecil atau orang yang sudah
lanjut usia. Mereka mengemis dari pagi hingga menjelang petang di perempatan
jalan-jalan utama kota Purwokerto. Hal itu mereka lakukan demi mendapatkan uang
untuk membeli sesuap nasi. Dengan cara menengadahkan telapak tangan kepada
setiap orang yang melintasi perempata jalan, mereka memperoleh beberapa pecahan
uang receh.
Menurut data dari dinas sosial kabupaten
Banyumas, sejak tahun 2008 hingga kini tercatat 124 pengemis pria dan 135
pengemis wanita. Penanganan gepeng sendiri pada tahun 2011 tercatat 159 orang
dari seluruh pengemis dan gelandangan yang berada di wilayah Banyumas.
Kampung Sri Rahayu merupakan salah satu
kampung di kota Purwokerto yang warganya sebagian besar berprofesi sebagai
buruh harian lepas, seperti penuturan Bapak Yono selaku ketua RT 04 kampung
tersebut, “Ada yang supir, tukang becak, pekerja bangunan, pengamen, pengemis”.
Dikatakan pula, bahwa rata-rata dari mereka, ketika tidak mendapatkan
pekerjaan, mereka akan mengemis untuk memenuhi biaya hidup sehari-hari.
Di kampung yang terlihat cukup kumuh dan
padat tersebut terdapat 135 KK yang tercatat dan 250 warga termasuk pendatang
yang tinggal dan menetap. Kebanyakan dari mereka adalah pendatang yang kemudian
menetap. Tak banyak dari mereka yang menempuh pendidikan setinggi SMA,
rata-rata pendidikan warga kampung tersebut adalah SD dan SMP, bahkan ada yang
tidak berpendidikan.
“Masalah pendidikan kurang, bantuan dari
pemerintah paling PAUD, raskin, PNPM itu paling yang punya KTP sini.”, tutur
Pak Yono. Ia juga menambahkan bahwa warga kampung tersebut lebih memilih
bekerja untuk mencari uang dari pada sekolah, karena sekolah pun membutuhkan
uang.
Pendapatan warga kampung tersebut tak
banyak, hanya dapat mencukupi kebutuhan pangan mereka, itu pun mereka sudah
mensyukurinya, karena bagi mereka yang penting adalah dapat makan setiap
harinya. Hal ini dituturkan oleh salah seorang warga kampung Sri Rahayu yang
sedang beristirahat di kontrakan bersama keponakan dan adiknya. Ia mengatakan
bahwa dalam sehari, uang yang ia dapat dari meminta di perempatan jalan paling
hanya Rp 10.000. Uang tersebut harus dapat mencukupi kebutuhannya dengan
keluarganya dalam sehari.
Ditekankan oleh Ketua RT 04, “Ekonomi
dibawah UMR, pendapatan sehari paling Rp 20.000 sampai Rp 30.000, gitu kalau
pengamen, pengemis.”
Banyak dari anak-anak di kampung
tersebut yang sekolah dan mengemis, ketika pagi mereka berangkat ke sekolah di
dekat kampung, siangnya mereka bersama teman-teman atau orang tuanya pergi ke
perempatan jalan untuk mencari uang dengan menengadahkan telapak tangan, meminta
belas kasihan masyarakat. Tak ada rasa malu bagi mereka untuk meminta kepada
orang lain, yang terpenting bagi anak-anak tersebut adalah dapat makan setiap
harinya.
Orang tua mereka tidak melarang mereka
untuk mengemis, justru ada yang menyuruh anaknya untuk mengemis. Kontrol orang
tua terhadap anak semakin berkurang. Menurut Pak Hendri, dosen Sosiologi Fisip
Unsoed, “Ada beberapa persoalan, persoalan yang berasal dari lingkungan hidup
dan dari diri anak-anak itu sendiri. Kalau anak-anak dibawah 10 tahun itu
sebenarnya tanggung jawab orang tua.”
Anak-anak yang seharusnya menjadi
tanggung jawab orang tua untuk mengasuh dan mendidiknya, justru pergi bekerja
mencari uang untuk hidup. Hal ini tak sepenuhnya kesalahan orang tua,
dijelaskan oleh Pak Hendri, bahwa terdapat banyak faktor yang mempengaruhi
tindakan seorang anak untuk berperilaku, seperti di contohkan oleh Dosen
Sosiologi yang berpenampilan santai tersebut, bahwa ada seorang anak yang
dididik oleh orang tua yang alim, lulusan pondok dan kebutuhannya pun dapat
terpenuhi, namun anak tersebut justru tidak mau melanjutkan sekolah serta
senang mencuri. Faktor yang mempengaruhi anak tersebut mencuri sulit untuk
dipahami, masalah ini lebih kepada psikologi dari anak tersebut. Sama seperti
anak-anak yang sekolah dan mengemis, bisa saja mereka disuruh orang tua atau
keinginan mereka sendiri untuk melakukan hal tersebut.
Tempat para pengemis mencari uang adalah
keramaian, ketika ada keramaian disuatu tempat, para pengemis
berbondong-bondong mendatangi tempat tersebut. Diterangkan oleh Pak Hendri
bahwa mereka cukup peka untuk mengetahui psikologis masyarakat, ketika
masyarakat sedang bahagia merayakan suatu hal, mereka akan ingat bahwa mereka
lebih beruntung dibandingkan dengan para pengemis. Ketika seusai sholat jumat,
masyarakat berlomba-lomba melakukan kebaikan, pengemis pun akan mendatangi
masjid-masjid besar. Mereka peka terhadap situasi dan kondisi di masyarakat.
Pemerintah melalui Dinas Sosial sudah
mengupayakan penanganan terhadap pengemis dan gelandangan. Menurut penuturan
Bapak Suwartono selaku Kepala Seksi Rehabilitasi Sosial, “Penanganan anak
terlantar, gelandangan dan pengemis kita berikan suatu pelatihan bimbingan atau
keterampilan, kalau mereka mau kita berikan motivasi supaya tidak terlantar
kita masukan ke balai rehabilitasi, tapi itu semua tergantung orangnya.”
“Konteksnya adalah kita pembinaan,
motivasi, bimbingan agar mereka menjadi
orang yang sesuai dengan norma etika kehidupan manusia”, tambah Kasi
Rehabilitasi Sosial tersebut. Pembinaan dilakukan selama satu tahun. Para
pengemis dan gelandangan diberikan keterampilan menjahit, otomotif dan lain
sebagainya, kemudian dilepaskan kembali.
Meskipun disediakan balai rehabilitasi
dan adanya dinas sosial yang menangani masalah pengemis dan gelandangan, dari
tahun ke tahun jumlah pengemis dan gelandangan tak kunjung berkurang justru
makin menjamur. “Ini bukanlah masalah pemerintah saja, kembali pada
Undang-Undang Dasar bahwa fakir miskin dan orang terlantar dipelihara oleh
negara bukan dipelihara oleh pemerintah”, kata Pak Suwartono.
Pak Suwartono juga menambahkan bahwa
solusi yang tepat untuk menangani masalah pengemis adalah ketika kita
mennjumpai pengemis di jalan, jangan dibiasakan memberikan uang, karena itu
akan membuat mereka ketagihan, lebih baik tidak memberikan uang kepada mereka
tetapi menyuruh mereka datang ke dinas sosial untuk ditangani dan diberikan
motivasi melalui balai rehabilitasi.
Kerjasama pemerintah dan masyarakat
sangat diperlukan untuk mengatasi masalah kesejahteraan sosial masyarakat
khususnya gelandangan dan pengemis. Namun, tetap saja karakter individu sangat
mempengaruhi perubahan masyarakat, seperti yang dikatakan Kasi Rehabilitasi
Sosial Kabupaten Banyumas, “Merubah pola sikap dan perilaku seseorang terkait
dengan etika sosial tidak semudah membalikan telapak tangan”.