(Tugas Komunikasi Politik_Kompasiana_Juni 2012_Dosen: Bu Sri Pangestuti)
Gembar-gembor pengentasan kemiskinan telah
sering kita dengar. Ribuan kali kalimat tersebut terlontar dari pemerintah.
Dengan dalih bahwa anggaran yang ada saat ini merupakan anggaran yang pro
terhadap rakyat miskin. Seperti sebuah mimpi indah yang hadir ke dalam benak
setiap rakyat miskin di Indonesia khususnya.
Secara konsep memang anggaran pro rakyat miskin
merupakan bagian dari kebijakan yang berpihak kepada kaum miskin dimana
kebijakan tersebut merupakan tindakan politik yang bertujuan mengalokasikan
hak-hak dan sumber daya kepada individu atau wilayah yang terpinggirkan. Subjek
utama yang disorot dalam konsep tersebut adalah rakyat miskin.
Rakyat miskin dapat diartikan sebagai rakyat
yang tidak dapat memenuhi kebutuhan kesehariannya seperti makan. Mereka
memiliki hak-hak dasar yang harus dipenuhi seperti pendidikan, kesehatan,
pangan, lapangan pekerjaan, dan lain sebagainya. Sebagai warga negara pun
mereka memiliki hak-hak politik sebagai kaum miskin, yakni akses kaum miskin
berpartisipasi dalam merumuskan perencanaan dan penganggaran sehingga proses
penganggaran berpihak pada mereka.
Pada kenyataannya saat ini proses penganggran
dan perencanaan hanya dirumuskan oleh kaum-kaum elit politik saja. Mereka berkoar
untuk mengentaskan kemiskinan demi kemajuan bangsa tapi ketika kita melihat
komposisi alokasi anggraan negara (APBN) dan anggaran daerah (APBD), pada
umumnya tidak berpihak kepada rakyat miskin. 60% hingga 70% anggaran dikonsumsi
untuk belaja para aparatur negara (belanja rutin). Sisanya digunakan untuk
belanja publik bagi masyarakat.
Miris rasanya melihat kenyataan yang ada bahwa
pengentasan kemiskinan hanyalah sebuah frase yang digunakan untuk memperindah
citra kaum elit politik. Nyatanya kemiskinan tetaplah ada bahkan tak berkurang.
Berbagai manipulasi proyek-proyek fisik seperti
jalan, jembatan, bangunan, kantor, sekolah, dan lain sebagainya dilakukan demi
memperoleh keuntungan pribadi. Contoh modus yang dilakukan adalah dengan adanya
pungutan komisi tidak resmi terhadap kontraktor. Atau manipulasi dana
pemeliharaan dan renovasi fisik dengan modus pemotongan dana pemeliharaan.
Banyak hal yang digunakan untuk memperoleh
keuntungan besar dengan mengatasnamakan pengentasan kemiskinan demi tercapainya
keuntungan besar dan akan terkesan memiliki citra positif terhadap kaum miskin.
Sangat ironis kenyataan bahwa kalangan atas bersembunyi dibalik kesederhanaan
kaum miskin. Tak hanya bersembunyi, rakyat miskin pun dijadikan alat agar citra
mereka terlihat begitu bagus dan terkesan patut di contoh.
Hal ini seperti layaknya dramaturgi, panggung
depan begitu menawan dan indah namun kenyataan yang ada di panggung belakang
begitu miris dan kacau tak beraturan. Akankah ini akan terus berlanjut?
Mungkinkan “pengentasan kemiskinan” menjadi nyata, bukan sekedar peningkat
citra?